Rabu, 31 Desember 2008

Desentralisasi dan Demokratisasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah

 
Oleh Unggul Sagena

Pendidikan dalam perspektif demokrasi adalah sebuah komponen yang vital. Dalam
membangun demokrasi, proses pendidikan yang menjadikan warga negara yang
merdeka, berpikir kritis dan sangat familiar dalam praktik-praktik demokrasi.
Sejarah mencatat, intelektual-intelektual bangsa yang berpendidikan barat lah
yang memegang peranan penting sebagai penggagas ghirah kebangsaan dan sekaligus
sebagai founding fathers berdirinya republik ini.
Namun tak kurang pula, pendidikan yang telah dikenyam pemimpin bangsa, ketika
berubah menjadi suatu rejim yang otoriter maka pendidikan yang diberikan oleh
pemerintah (baca: penguasa) menuntut penerimaan masyarakat secara paksa
(passive acceptance). Masa otonomi daerah ditandai dengan implementasi UU No.22
tahun 1999 yang direvisi dan diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam kedua UU inilah perspektif demokratisasi pendidikan
memiliki fondasi dasarnya sebelum diterbitkan peraturan-pemerintah (PP) maupun
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur lebih lanjut tentang pendidikan ini,
selain UU Sisdiknas itu sendiri.

Kebijakan Pendidikan
Perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang
demokratis-kalau tidak dapat disebut liberal-ketika pada saat ini otonomisasi
pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai UU No. 2 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, privatisasi perguruan tinggi negeri-dengan
status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No. 60 tahun 2000,
sampai UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan,
juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah.
Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan
insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa
secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi
kolusi dan nepotisme, dimana peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan)
yang didapat dibangku sekolah dengan tidak semestinya. Dalam kondisi yang
demikian, mungkin benar ungkapan yang mengatakan "negeri ini dihancurkan oleh
kaum intelektualnya sendiri". Apa sebab, karena pendidikan nasional selama ini
bertekuk lutut kepada kepentingan penguasa.
Pendidik, yaitu guru dan dosen yang tidak mengikuti sistem akan terlibas,
sehingga murid yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini mendapatkan
pendidikan yang tidak bermutu. Pendidikan disequillibrum antara pendidikan
moral dan agama dengan sains. Perilaku yang dibentuk generasi "pendidikan
otoriter" demikian banyak melahirkan pribadi yang terbelah tak seimbang,
mengutip Abidin (2000), pendidikan seperti ini too much science too little
faith, lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan agama.
Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa "pendidikan
otoriter" tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era
yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan
perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No.
22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004
dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru
dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota)
serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada
pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah
pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional
yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini
secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan.

Demokratisasi Pendidikan
Telah disebutkan dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi
dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan terutama perbaikan
institusi-institusi pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti
pendahulunya. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung
berbagai elemen demokrasi

di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif
terhadap pendidikan nasional.
Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain
desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu
Undang-undang yang mengatut tentang pendidikan di negara kita.
Namun perlu diketahui bahwa menurut Alisjahbana (2000), mengacu pada Burki
et.al. (1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini secara konseptual
dibagi menjadi dua jenis.
Pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih
kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah.
Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang
lebih besar di tingkat sekolah.
Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan
dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi. Konsep kedua lebih fokus
mengenai pemberian kewenangan yang lebih besar kepada manajemen di tingkat
sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dua hal ini mungkin sekali pelaksanaannya tergantung situasi kondisinya.
Walaupun evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan Indonesia di bawah
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut, yakni masih berkisar
pada tataran desentralisasi pendidikan dengan model pertama, yang merupakan
bagian dari desentralisasi politik dan fiskal (financing terhadap pendidikan
regional), akan tetapi peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan
kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut diharapkan juga
berlangsung.
Untuk itulah partisipasi orang tua, masyarakat, dan guru sangat penting untuk
mereformasi pendidikan ini, selain memecahkan masalah finansial melalui
langkah-langkah yang diformulasi pemerintah baik pusat maupun daerah.

Urgensi Desentralisasi
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional,
utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar
pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi.
Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai
diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah di beberapa provinsi,
mungkin juga konsep pendidikan "masyarakat belajar" bagi masyarakat akademis
seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya bukanlah utopia.

Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui
diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi
pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak.
Berhubung keran demokrasi dan demokratisasi begitu membahana pada masa
reformasi sekarang ini, maka reformasi pendidikan mutlak bagi bangsa ini dan
dapat segera diwujudkan menyusul semakin pentingnya sektor pendidikan dijadikan
prioritas utama pembangunan, dimana pembiayaan dan kewenangan menjadi fokus
utama dalam reformasi pendidikan tekait dengan desentralisasi pendidikan di era
otonomi daerah saat ini.

Peneliti Forum Studi Kebijakan (FORBI) Departemen Ilmu Administrasi,
Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: