Jumat, 26 Desember 2008

Komitmen bagi Desentralisasi Pendidikan

Oleh
BRA. MOORYATI SOEDIBYO

Gagasan desentralisasi pendidikan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini. Setidaknya dalam fase embrio, gagasan ini sudah menjadi kebijakan resmi negara sejak tahun 1947, dengan terbitnya UU No. 32/1947, di mana daerah berhak menyelenggarakan pendidikan sesuai kebutuhannya, terutama bidang pertukangan dan kepandaian puteri. Kewenangan yang lebih luas lagi diberikan 3 tahun kemudian lewat UU No. 4/1950 dan jabarannya dalam PP No. 65/1951 yang mendesentralisasikan pengelolaan pendidikan (dasar) kepada daerah dan hak bagi pihak swasta untuk ikut mendirikan sekolah.
Meski masih bersifat terbatas dilihat dari ukuran saat ini, rintisan itu dipertegas di masa Orde Baru. UU No. 5/1974 (Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah), UU No. 2/1989 (Sistem Pendidikan Nasional) dan PP No. 28/1990 (Pendidikan Dasar) adalah sebagian instrumen legal yang mendasari inisiatif desentralisasi. Arsitektur pembagian kewenangan tampak lebih jelas, yakni daerah (melalui Dinas) mengurus pengadaan gedung dan penyediaan tanah untuk sekolah, sementara pusat (melalui Kanwil/Kandep) bertanggung jawab atas pengadaan guru, kurikulum dan perlengkapan pendidikan. Menyangkut kurikulum, daerah juga diberi hak untuk menambah muatan lokal dalam porsi yang ditetapkan pusat.
Di era reformasi saat ini, baik melalui UU No. 22/1999 maupun hasil revisinya dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan bukan saja termasuk urusan yang didesentralisasikan, tetapi bahkan menjadi urusan wajib (Pasal 11 ayat 2 UU No. 22/1999 dan Pasal 14 ayat 1 UU No. 32/2004). Ini artinya, pertama, pusat wajib menyerahkan penyelenggaraan urusan itu kepada daerah; kedua, daerah tidak bisa menolak dengan alasan apa pun (seperti halnya dalam urusan pilihan) untuk menyelenggarakannya. Kewajiban mengikat pihak pemberi (pusat) dan penerima (daerah).

Memekarkan Ditjen Dikdasmen
Dalam konteks itu, arah kebijakan baru Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Soedibyo patut dicermati sebagai ukuran keterikatan pihak pusat pada kewajibannya. Rencana memekarkan Ditjen Dikdasmen ke dalam dua direktorat tersendiri, misalnya, adalah arah awal yang justru berpunggungan dengan asas desentralisasi. Alasan kompleksnya masalah pendidikan dan perlunya efisiensi, hemat saya tidak pas kalau dijawab dengan diversifikasi kelembagaan di level pusat tetapi melalui desentralisasi pengurusannya ke daerah. Di sini, desentralisasi adalah metode administratif pemerintahan untuk mengurai kompleksitas persoalan agar lebih manageable. Upaya resentralisasi yang sama juga terlihat dalam rencana penetapan standarisasi dan ujian nasional untuk mengukur prestasi belajar siswa sekolah dasar dan menengah.
Sementara ke-(tak)-terikatan di pihak daerah, antara lain terlihat pada masih rendahnya alokasi anggaran ke sektor pendidikan. Sebagian besar kabupaten/kota menghabiskan sekitar 70-75% anggarannya untuk belanja rutin birokrasi, dan sisa 25-30% untuk pembangunan, di mana sektor pendidikan hanya kebagian 2-3%. Di tengah maraknya praktik KKN, dunia pendidikan justru mengerang kesakitan lantaran gedung-gedung sekolah yang rusak berat, gaji guru yang seolah menghina kemuliaan profesi tersebut.
Paparan di atas menyiratkan tanggung jawab multipihak dalam konsep desentralisasi pendidikan. Dalam ranah praktis, ia tidak saja berarti terlibatnya triple kekuatan pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dalam urusan pendidikan, tetapi juga menyiratkan prasyarat sinergi kebijakan dengan sektor-sektor lain. Aspek fiskal misalnya. Depdiknas, dalam rencana strategisnya, menerjemah konsep tersebut dengan membagi beban biaya penuntasan wajib belajar 9 tahun sebesar Rp 56,7 triliun di antara pusat/provinsi (60%), kabupaten/kota (25%), dan masyarakat (15%).
Di level daerah, sharing be-ban semacam itu sungguh menjadi tanggungan yang berat. Hampir sama muskilnya memenuhi amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 49 UU No. 20/2003 (Sisdiknas) yang menegaskan prioritas anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN maupun APBD. Struktur penerimaan daerah, baik pajak dan retribusi sebagai komponen utama PAD (UU No. 34/2000) maupun dana perimbangan dari pusat (UU No. 25/1999 dan hasil revisinya UU No. 33/2004), masih belum memberikan ruang manuver yang lapang bagi daerah. Sementara pada sisi pengeluaran, belanja rutin yang menguras lebih dari 2/3 APBD di sebagian besar daerah membuat pos untuk pendidikan gampang diabaikan.

”Affirmative Policy”
Dalam situasi semacam ini, opsi affirmative policy bagi sektor pendidikan yang berarti relanya sektor-sektor lain untuk ”berkorban”, harus ditempuh. Dari sisi pendapatan, misalnya, bisa ditempuh dengan pajak daerah yang lebih progresif, baik menyangkut taxing power maupun penggunaannya (sistem earmarking). Dengan demikian, daerah punya cukup penerimaan atau memiliki keleluasaan mengalokasikan anggaran dari satu sumber penerimaan tertentu (terutama dari pajak potensial di daerah bersangkutan) ke sektor pendidikan.
Problem desentralisasi di sektor-sektor lain, solusi yang ditempuh bukanlah meresentralisasi, tetapi menyempurnakan konsep dan memperkuat kapasitas pelaksanaannya. Untuk itu, urut-urutan langkah berikut menjadi prasyarat.
Pertama, memperjelas pembagian kewenangan pusat-daerah (menyangkut anggaran, personal dan kurikulum) dan disiplin pelaksanaannya. Kedua, pembagian kewenangan itu harus simetris dengan perimbangan keuangan pusat-daerah (money follows function). Ketiga, di level daerah, desentralisasi juga harus berlanjut sampai ke tingkat basis, yakni institusi sekolah sendiri, dalam kerangka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Keempat, konsep manajemen pendidikan ini harus dikembalikan kepada rohnya yakni mendorong partisipasi multi-stakeholders yang terwadahi dalam dewan pendidikan dan komite sekolah, bukan keleluasaan memungut berbagai ”dana partisipasi” dari masyarakat yang malah tidak proporsional dan rawan penyimpangan.

Penulis adalah Wakil Ketua MPR, Anggota PAH III (Urusan Pendidikan dan Agama) DPD-RI

Tidak ada komentar: